Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya saat memberikan arahan pada momen ‘Resepsi Peringatan Hari Bhakti Rimbawan’ di Gedung Manggala Wana Bhakti.
Jakarta, 31 April 2022. Gambar: PPID KLHK
Pada penanggalan 16 Maret 1983 silam, juga merupakan momentum bersejarah dengan berdirinya Departemen Kehutanan yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Bakti Rimbawan.
Sebutan Rimbawan atau ‘Forester’ berarti seseorang yang memiliki profesi dalam pengelolaan hutan atau orang yang memainkan peran dalam pengelolaan hutan keberlanjutan.
Rimbawan bukan hanya orang-orang yang menyimpan hutan saja, tapi menyangkut siapa saja yang memiliki sikap mental, pemikiran, perhatian, dan dedikasinya untuk pengelolaan hutan berkelanjutan dan kelestarian alam.
Demikian arahan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya pada ‘Resepsi Peringatan Hari Bakti Rimbawan’ yang dihelat Kamis (31/03/2022) sebagaimana dilansir dari portal resmi PPID Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dijelaskannya bahwa, Hari Bakti Rimbawan merupakan penegasan dan pengakuan sebuah profesi di bidang pengelolaan hutan.
Lebih lanjut Menteri LHK mengungkapkan Hari Bakti Rimbawan juga merupakan tonggak konsolidasi para rimbawan di seluruh Indonesia untuk memperkuat komitmen dan kesadaran dalam berkarya dan membangun hutan dan kehutanan Indonesia.
“Juga kesadaran menjaga alam Indonesia sebagai mandat yang cukup berat, sehingga secara ‘sekuensial’ perkembangan dan perubahan harus diikuti dan direkayasa menurut strategi kebutuhan bangsa,” terangnya.
Menteri LHK kemudian menjelaskan kepada semua rimbawan yang hadir secara berani dan memikat, bahwa dalam upaya pengelolaan hutan erkelanjutan, Sesungguhnya rimbawan juga profesional di bidang Lingkungan Hidup.
Serta meminta kepada para Rimbawan untuk bergerak ‘meninggalkan’ pendekatan antroposentris dan menuju ke arah ‘biosentris dan ekosentris’.
Lebih lanjut Menteri Siti Nurbaya menjelaskan bahwa, pada konteks pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan, gagasan ‘antroposentrisme’ ini wujud dalam bentuk keyakinan yang meletakkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.
‘Antroposentrisme’ sebagai sebuah paradigma dalam pengelolaan lingkungan hidup mendasar pada asumsi bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam semesta. Manusia dengan berbagai kepentingannya adalah pihak yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan alam.
Namun, sudut pandang ‘antroposentrisme’ ini menyebabkan terjadinya relasi sepihak yang didominasi oleh manusia. Hal ini kemudian menimbulkan konsekuensi berupa model pengelolaan sumberdaya yang bersifat eksploitatif dan hanya berorientasi pada keuntungan,” ungkap Menteri Siti.
Berbeda dengan ‘antroposentrisme, ekosentrisme’ itu mengambil posisi sebaliknya.
‘Ekosentrisme’ menempatkan seluruh subjek yang ada di alam semesta (biotik maupun abiotik) memiliki nilai karena keduanya akan menjaga satu sama lain dalam sebuah ekosistem.
‘Ekosentrisme’ dalam teori etika lingkungan merupakan kelanjutan dari ‘biosentrisme’.
Ketika ‘biosentrisme’ hanya meletakkan komunitas biotis sebagai subjek yang memiliki, maka ‘ekosentrisme’ bertindak lebih jauh dengan menempatkan seluruh komunitas ekologi sebagai subjek yang memiliki nilai.
“Meskipun berbeda, namun dua konsep ini memiliki kesamaan dalam hal memperbaiki pemikiran ‘antroposentrisme’ dengan cakupan nilai yang tidak hanya berlaku bagi manusia saja,” ujar Menteri LHK.
Melanjutkan arahannya, Menteri Siti Nurbaya mengungkapkan bahwa kini ilmu pengetahuan telah dikonstruksi ke arah yang ramah lingkungan (green).
Menurutnya Hal ini menjadi koreksi terhadap dasar teori lama yang telah merusak alam, menuju pandangan baru yang lebih ‘holistik dan futuristik’.
Paradigma hijau ini juga memperkuat arus pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Dalam kebijakan pembangunan di Negara kita telah diarahkan kepada paradigma hijau tersebut, terutama melalui penerapan konsep green economy, blue economy, green industry, green city, bangunan hijau, transportasi hijau, dan seterusnya. Sektor LHK sangat besar peranannya dalam menyelengarakan pembangunan yang ramah lingkungan tersebut,” terang Menteri Siti.